Oleh: Angesti Palupiningsih, S. Pd.
Sebagai makhluk sosial,
berinteraksi menjadi suatu hal yang tidak terhindarkan bagi manusia. Dalam
berinteraksi, bahasa dibutuhkan sebagai sarana berkomunikasi. Di masyarakat
komunikasi ini bisa berlangsung dalam lebih dari satu bahasa. Apalagi di era
pesatnya perkembangan alat komunikasi sekarang ini. Minimal setiap orang mampu
berkomunikasi dalam dua bahasa, bahasa daerah dan bahasa nasional atau bahasa
pertama dan bahasa kedua. Seseorang yang menguasai lebih dari satu bahasa sadar
atau tidak akan terkena efek/akibat dari penggunaan 2 (atau lebih) bahasa
tersebut. Beberapa diantaranya adalah gejala alih kode dan campur kode.
Alih kode (code switching) adalah peristiwa
peralihan dari satu kode (bahasa) ke kode yang lain dalam suatu peristiwa tutur
(Nababan, 1984:32).
Contoh:
Situasi : Palupi dan Agung sedang menunggu dimulainya
rapat.
Palupi : Lima menit lagi rapat dimulai, tapi tumben
sekali Pilar belum datang.
Agung : Tapi dia tadi bilang mau datang.
Palupi : Itu dia datang. Woi,,tumben je mepet le mangkat. Seko ngendi?
Pilar : Mampir
ngomah sikek.
Dalam situasi di atas Palupi
beralih kode dari Bahasa Indonesia ke Bahasa Jawa saat berbicara dengan Pilar,
karena mereka berasal dari daerah yang sama, yaitu Yogyakarta.
Sedangkan
campur kode, (code mixing) menurut
Nababan (1984: 32), adalah peristiwa saat seseorang mencampur dua (atau lebih)
bahasa dalam suatu tindak tutur. Jadi, penutur menyelipkan kata-kata dari
bahasa lain dalam kalimatnya ketika sedang memakai suatu bahasa tertentu.
Contoh:
Anggi : Tadi waktu kuliah Pak Lanjar, saya chatting dengan orang Lombok
Dina : Kuliah kok malah chatting dengan orang Lombok.
Anggi : Habisnya
kuliah tadi membosankan. Materi tidak bisa ditampilkan karena laptop Pak Lanjar
LCD-nya rusak, ditambah AC mati, membuat ruangan terasa panas.
Dalam percakapan Anggi dan Dina
di atas, Anggi melakukan campur kode dengan menyisipkan kata-kata dalam bahasa
asing (yang dicetak miring) dalam percakapannya yang memakai Bahasa Indonesia.
Ada beberapa alasan mengapa orang melakukan alih kode
atau campur kode. Seperti alasan solidaritas, penghormatan terhadap lawan
bicara, sinyal keanggotaan (etnis), alih peran, mengutip, afektif, alasan
metaporik, dan keterbatasan kosakata (Holmes, 1992). Dialog pertama di atas adalah
contoh alasan sinyal keanggotaan, sedangkan dialog kedua adalah contoh alasan
keterbatasan kosakata dalam bahasanya.
good , salam kenal kak
ReplyDeletesalam kenal kak
ReplyDeleteTerimakasih. It helps me😊
ReplyDelete